Jumat, 06 Juli 2007

Mari Berdakwah

MENCETAK DA’I BERKARAKTER NABI

(Implikasinya terhadap Solidaritas Sosial, Disiplin Nasional dan Ketahanan Eksistensi)

Oleh: M. Abdullah Badri

(Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Program Khusus (FUPK) IAIN

Walisongo, Semarang)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam, seperti yang tercatat dalam sejarah, adalah agama proklamasi yang secara umum hadir sebagai pembebas manusia dari penyembahan terhadap mahluk dan hawa nafsunya, dari kegelapan menuju penerangan dan dari kenistaan menuju keluhuran. Yang demikian itu adalah konsekuensi dari ke-maha-esaan Allah. Pernyataan bahwa Allah sebagai Tuhan seluruh alam membawa perubahan yang radikal terhadap manusia dan segala yang melingkupinya. Artinya, kehadiran Islam sebagai proklamator kebebasan, pada titik tertentu, menjadi pilar penegak kemajuan manusia. Dengan kata lain, jika manusia dalam kemunduran dan kejumudan, Islam hadir mengentaskannya.[1]

Disinilah kemudian muncul risalah kenabian yang memang misinya untuk pembebasan. Nabi-nabi yang diutus merupakan representasi dari misi itu. Mereka diutus di wilayah “kegelapan” yang dipenuhi budaya jahiliyah. Di wilayah ini, para rasul diperintah untuk menancapkan nilai-nilai Islam.[2] Karena sifatnya yang dekonstruktif, dakwah Islam mendapat banyak tantangan dari komunitas jahiliyah itu. Tidak jarang para nabi yang diutus menuai berbagai siksaan, fisik maupun mental. Bahkan hingga meregang nyawa.[3] Dari sinilah, urgensi strategi dakwah terlihat.

Muhammad SAW, sebagai penutup para nabi, adalah layak dijadikan teladan. Beliau, meskipun diutus di kawasan yang paling "jahily"[4] saat itu, namun berhasil mendakwahkan Islam tanpa gejolak yang berarti. Sebab, sebagaimana yang terekam dalam Al-Qur’an, Nabi Muhammad menerapkan sikap kasih sayang, penyabar dan tidak keras hati sebagai strategi dakwah (QS:2:159). Dengan strategi itu, dakwah yang beliau emban menjadi efektif dan efisien. Efektif karena mencapai titik sasaran yang tepat dan efisien karena tidak membutuhkan banyak waktu lama, hanya dua puluh tiga tahun. Sebuah capaian prestasi yang sulit diraih siapapun sepanjang sejarah manusia. Prestasi yang dicapai Nabi tersebut, tiga belas abad kemudian, dihargai sebagai prestasi gemilang oleh Michel H Hart, seorang Nasrani, dengan menobatkannya sebagai tokoh pertama paling berpengaruh dalam sejarah peradaban manusia, diantara seratus tokoh dunia lainnya.

Bukan tanpa alasan bila Hart menempatkan Nama nabi di tempat paling teratas. Faktor yang paling mempengaruhi keputusan Hart tersebut adalah karena keberhasilan misi Nabi. Buktinya, hanya dengan waktu sesingkat itu, Nabi mampu memperluas misi dakwahnya hingga pegunungan Pyrenia (Spanyol) di sisi barat dan Sungai Indus di sisi Timur.[5]

Untuk melancarkan misinya, Nabi tidak langsung menggunakan strategi yang radikal-konfrontal. Dakwah nabi dilangsungkan secara bertahap. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik yang justru akan merugikan misi dakwah yang diemban.

Langkah perjuangan dakwah Nabi, semenjak diutus hingga wafat, sebagaimana keterangan Ibnul Qayyim yang dikutip Sayyid Quthub, adalah sebuah langkah dakwah yang cerdas, kronologis dan sistematis; Setelah menerima Iqra’ sebagai wahyu pertama dan surat Al-Muddatstsir sebagai perintah kedua, beliau diutus untuk berdakwah kepada keluarga dekatnya. Setelah itu, wilayah risalah ditingkatkan lagi kepada kaumnya, lalu kepada bangsa Arab disekitarnya, kemudian kepada keseluruhan bangsa Arab dan akhirnya meluas kepada segenap umat manusia dimuka bumi.[6] Sistematika dakwah inilah yang kemudian menjadi semacam strategi tersembunyi dari ayat “Wama arsalnakan illa rahmatan lil’alamin/ Dan aku tiada mengutus engkau kecuali untuk menjadi rahmat seluruh alam[7]. Wama Arsalnaka Illah Kaffatan Linnas/ dan aku tidak mengutusmu kecuali untuk keseluruhan umat manusia.

Selain kasih sayang dan juga kronologisasi, keberhasilan dakwah beliau juga disebabkan karena konsistensi dan komitmen terhadap misi yang dibawa. Dalam kondisi apapun, dimanapun, dan kapanpun, Nabi selalu membawa bendera Islam sebagai misi yang harus ditegakkan. Dengan begitu, sebesar apapun godaan yang datang menerjang tak akan berarti sama sekali. Karena yang dibawa hanya satu, yaitu misi.

Begitu pula dengan para pengganti setelah beliau wafat, semisal Khulafaurrasyidin[8]. Mereka berhasil melakukan ekspansi Islam hingga meluas ke bangsa-bangsa lain[9] karena komitmen yang kokoh. Tujuan mereka hanya kepada Allah (Allah Ghoyatuna), tiada yang lain. Sehingga, apapun yang menghalangi tercapainya tujuan itu, tidak akan ada guna, karena mereka memiliki senjata, yaitu Iman, Ahlaq dan Ilmu. Jikalau kalah, dan tidak mencapai sasaran, mereka tetap akan mendapatkan satu hal yang diinginkan banyak orang, yakni syahid. (Q.S:33:23)[10]. Dua sisi menjanjikan itulah (keberhasilan dan syahid) yang ternyata menjadi pemicu semangat juang para juru dakwah (Da’i).

Sehingga, antara dakwah dan hidup, ketika itu, seakan-akan menjadi satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Dakwah sudah menjadi bagian hidup, maka, hidup tak akan bernilai jika jauh dari jalan dakwah. Jika misi dakwah berhasil dicapai, pahala yang didapatkan akan berlipat ganda, sebab akan diteruskan oleh generasi setelahnya, umat tidak akan pernah berhenti meniti jalan dakwah[11]. Disini terdapat kesinambungan kerja dakwah, antara satu generasi ke generasi berikutnya. Namun, dalam proses itu, terjadi pasang-surut gerakan dakwah (fluktuasi dakwah). Hal itu terjadi karena setiap generasi berbeda beda dalam penghayatan agamanya. Artinya, komitmen terhadap pengamalan ajaran-ajaran Islam mengalami turun-naik, sehingga perjuangan dakwah juga mengalami hal serupa.

Fluktuasi penghayatan nilai-nilai luhur Islam tersebut, secara garis besar, dipengaruhi oleh dua faktor; internal dan eksternal. Dalam faktor internal, para pengemban dakwah, mengalami dis-orientasi gerakan. Disini terjadi proses kontaminasi (ikhtilath) antara misi gerakan dengan keinginan pribadi (nafsu) yang tidak seimbang dan selaras. Sehingga, terjadi ketimpangan strategi yang mengakibatkan stagnasi gerakan. Sehingga, dalam tataran struktural maupun kultural, musuh akan dengan gampang mengintervensi, Perpecahan pun gampang disulut, konflik menjadi tema akhir. Akibat selanjutnya adalah terkuburnya nilai-nilai jihadiyyah dakwah karena tergilas keserakahan nafsu yang tidak terbendung. Inilah faktor kedua penyebab fluktuasi gerakan, yakni berhasilnya musuh yang pandai memanfaatkan kesempatan.[12]

Ketika kondisi sudah demikian, misi dakwah sulit tercapai, seperti pada masa keemasan Islam silam. Sebab, tenaga yang seharusnya dicurahkan untuk kegiatan dakwah, terforsir hanya untuk menyelesaikan problem jama’ah. Masalah keummatan akhirnya terabaikan.

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik mengkaji dan meneliti korelasi antara dakwah dan politik beserta implikasinya terhadap solidaritas sosial, disiplin nasional dan ketahanan eksistensi jama’ah dengan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Faktor apa saja yang sebenarnya berpengaruh besar terhadap kualitas kegiatan dakwah, dulu maupun sekarang?

2. Jika faktor-faktor pada pertanyaan point pertama telah ditemukan, akibat apa yang akan ditimbulkan terhadap solidaritas sosial, disiplin nasional serta eksistensi jama’ah?.

C. Tujuan Penulisan

Mengacu pada pokok persoalan di atas, tujuan pembuatan karya tulis ini adalah:

1. Untuk mengetahui faktor apa yang berpengaruh besar terhadap kualitas kegiatan dakwah, dulu maupun sekarang.

2. Untuk mengetahui akibat apa saja yang akan ditimbulkan terhadap solidaritas sosial, disiplin nasional serta eksistensi jama’ah, jika faktor penyebab kualitas kegiatan dakwah diatas telah diketahui.

D. Metodologi penulisan

Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis memfokuskan kajian (unit of analysis) dengan kajian pustaka. Adapun metode penulisan yang digunakan adalah:

1. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan. Oleh karenanya, metode pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi. Proses pencarian data dilakukan dengan cara mengumpulkan dan menelaah buku serta tulisan yang relevan dengan pokok pembahasan masalah.

2. Metode Analisis Historis Dokumenter

Setelah pencarian data selesai dan dirasa cukup untuk mendukung penulisan ini, selanjutnya dilakukan analisa kesejarahan dan dokumentasi. Oleh karenanya, metode penelitian yang digunakan adalah meneliti buku-buku, tulisan atau bentuk media komunikasi lain yang berkaitan dengan topik pembahasan ini[13].

3. Metode Analisis Sistem Dakwah

Untuk mengetahui implikasi dari setiap kegiatan dakwah, maka dilakukan analisa sistem dakwah yang meliputi masukan (input), keluaran (out put), proses pengubahan (conservation), umpan balik (feed back) dan lingkungan (environment)[14].

E. Sistematika Penulisan

Bab Pertama, yaitu Pendahuluan, Membahas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penullisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Bab kedua adalah Pembahasan yang berisi: Mensinergikan Strategi Dakwah dan Idealisme, Menjual Idealisme dan Catatan untuk Para Da’i.

Bab ketiga merupakan Penutup berupa kesimpulan, saran-saran dan ikhtitam.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Mensinergikan Strategi Dakwah dan Idealisme[15]

Adanya kegiatan dakwah sesungguhnya bermula dari kesadaran mendalam tentang pemahaman hidup yang sebenanya[16], yakni ketika ketimpangan-ketimpangan nilai-nilai sosial-teologis terjadi dimasyarakat sebagai antitesis dari pluralitas manusia.[17] Maka, untuk meluruskan dan menunjukkan kepada jalan yang benar, dakwah Islam hadir sebagai pilar penegak. Mengapa? karena Islam membawa semangat kedamaian dan rahmat yang berlaku secara universal untuk seluruh alam,[18] yang mampu duduk berdampingan secara damai di lingkungan berbeda, bahkan bertentangan sekalipun.

Hal diatas terwujud karena semangat yang diformulasikan dalam dakwah Islam adalah semangat menuju kebaikan (Al-Khoir),[19] yang berorientasi pada pembangunan (Al-Ishlah)[20]. Inilah inti sebenarnya dari tujuan dakwah: secara horisontal maupun vertikal. Secara harisontal, dakwah mendorong (baca: "membangun") manusia meraih kebahagiaan hidup di dunia. Secara vertikal mengajak kepada kebahagiaan hidup di akhirat.[21]

Orientasi tersebut, mengantarkan pada pemahaman dakwah Islam sebagai sebuah kebutuhan, bukan sekadar kewajiban.[22] Karena sebagai kebutuhan, maka strategi yang digunakan haruslah disesuaikan dengan realitas yang ada. Saat itulah, para juru dakwah (da'i) dituntut untuk pandai-pandai membaca situasi yang sedang di hadapi. Oleh karenanya, penguasaan manajemen dan hal-hal teknis yang melingkupinya mutlak harus dikuasai, tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar dakwah Islam yang telah digariskan rasul. Tujuannya, agar kegiatan dakwah berlangsung efektif-efisien dan obyek dakwah mencapai kesepahaman dengan misi yang diorientasikan.[23]

Penguasaan teknis[24] menjadi urgen mengingat keberhasilan dakwah bukan hanya karena kemahiran berbicara secara oral, tapi didukung pula dengan gerakan-gerakan progresif sebagai kekuatan pendukung utama. Disinilah letak penting keberadaan sebuah komunitas (jama'ah) dakwah. Jika tidak demikian, gaung dakwah tidak akan terasa dalam tataran sosial. Apalagi, kini banyak musuh-musuh Islam yang gencar melakukan serangan-serangan, dengan cara terang-terangan maupun tersembunyi. Maka, semakin besar saja kebutuhan untuk membangun sebuah kekuatan.

Tidak cukup itu, setelah terbentuknya kekuatan, agar tetap eksis, para kader anggota (baca: da'i) perlu dipupuk semangat menjadi "tentara Allah", yang yakin tak akan pernah terkalahkan.[25] Perlu terbangun keyakinan bahwa merekalah yang mewarisi risalah para nabi (Waratsatul Anbiya'), sehingga harus siap dengan segala konsekuensi sebagaimana yang dulu pernah dibayar mahal oleh para nabi. Maka, pembinaan mental da'i menjadi sangat penting. Terlebih ketika kita memandang mereka sebagai mental builder umat.

Da'i, sebagaimana digambarkan oleh Assyahid Imam Hasan Al-Bana sebagai pemimpin "multidimensi"; kepemimpinannya da'i dalam dakwah mempunyai hak sebagai ayah dalam ikatan hati, sebagai guru dalam proses ilmiah, sebagai orang tua dalam proses pendidikan jiwa dan sebagai panglima dalam hal kebijaksanaan umum.[26] Ini menunjukkan bahwa seorang da'i adalah orang yang multi profesi. Sehingga, menuntut penguasaan banyak disiplin ilmu, karena kompleksitas wilayah kerjanya. Dahulu, dakwah cukup dengan seni oral, dan ketika menerangkan tentang kebajikan cukup mengaitkannya dengan alam metafisika disertai dengan janji-janji dan ancaman-ancaman ukhrowi. Namun, kini dakwah berkembang kepada pengaitan ajaran agama dengan bukti-bukti ilmiah-rasional. Terutama di masyarakat perkotaan.

Selain penguasaan dalam bidang-bidang pengetahuan yang diperlukan, seorang da'i juga harus intens dan fokus dalam satu jalur, di dadanya hanya ada satu misi, yaitu dakwah. Tidak boleh bercabang dengan yang lain. Biasanya, ini terjadi ketika seorang da'i terjun ke wilayah politik.

Sesungguhnya tidak salah jika para da'i terlibat dalam politik, apalagi dalam rangka memperluas jaringan dakwah. Politik bisa dipahami sebagai salah satu basis kekuatan dakwah. Namun yang menjadi masalah adalah penggunaan otoritas dan legitimasi, bukan pada subtansi keterlibatannya dalam politik praktis. Sering, ketika seseorang dalam ketetindasan, semangat idealismenya tinggi, namun giliran di puncak kenikmatan dan kekuasaan, idealismenya mulai runtuh. Inilah yang menjadi kekhawairan banyak pihak.

Dua ormas besar Islam Indonesia, NU dan Muhammadiyyah, pernah mengeluhkan beberapa partai politik yang memanfaatkan kedua ormas itu untuk melancarkan kepentingan mereka. (Koran Sindo, 01/05/2007). Bahkan ada yang mengatakan, bahwa berdakwah dengan politik adalah cara dakwah yang tidak jantan.[27]

Berbeda dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai ini secara terang-terangan mengkalim diri sebagai partai dakwah. Menurutnya, berdakwah dengan politik tak berbeda prinsip dengan perjuangan dakwah Islam. (Republika, 21/04/2006) karena dakwah tak akan berlangsung dengan baik tanpa strategi politik yang bagus, termasuk melalui partai.

Adalah Imam Khumaini, seorang ulama', mujtahid yang berhasil mengembangkan dakwahnya dan menumbangkan rezim Shah Iran melalui strategi politik.[28] Disini terlihat bahwa politik merupakan gerbong awal dakwah untuk memperluas obyek dan wilayah kerjanya.. Oleh karenanya, Ali Mochtar Ngabalin, da'i dari Fraksi Partai Bulan Bintang (PBB), yang menjadi anggota komisi I DPR RI menyatakan bahwa politik adalah puncak dari gerakan dakwah, karena dakwah harus di back up oleh kekuasaan agar mendapat tanggapan orang.[29] Demikian juga dengan Tifatul Sembiring, Presiden PKS ini mengatakan:

''Nikmatnya berjamaah atau berpartai tidak akan ada tanpa loyalitas, nikmatnya loyalitas tidak akan ada tanpa ketaatan, nikmatnya ketaatan tidak akan ada tanpa pengorbanan, nikmatnya pengorbanan tidak akan ada tanpa keikhlasan.''[30]

Jadi, antara kekhawatiran ormas-ormas Islam dan optimisme partai politik Islam bisa dipahami sebagai bentuk tanggungjawab dakwah bersama. Kekhawatiran ormas muncul karena keinginannya supaya tujuan dakwah tidak tercemar (baca: agar terjaga idealismenya), sedangkan optimisme parpol berangkat dari kesadaran akan pentingnya strategi dalam berdakwah. Alangkah indah bila antara strategi dakwah dengan idealisme saling bersinergi, sehingga tujuan dakwah mudah tercapai dan tepat sasaran, sebagaimana yang diinginkan bersama.

B. Menjual Idealisme

Tak segampang membalikkan telapak tangan. Para juru dakwah yang diharap membawa pencerahan serta kemajuan umat ternyata tidak selamanya memuaskan umat ketika mulai bersinggungan dengan masalah politik. Ada yang berubah dari mereka, sebab disana terselip banyak kepentingan. Wilayah da’i atau kyai, menurut sementara orang, adalah wilayah sakral, berdimensi gerakan moral yang penuh dengan nilai-nilai keikhlasan, tanpa tendensi dan ambisi, menjadi milik semua golongan. Sedang dunia politik adalah wilayah profan yang meniscayakan adanya kepamrihan, penuh muatan politis, tendensius dan hanya menjadi milik kelompok tertentu. Jika seorang da’i masuk ke wilayah politik, mereka akan terjebak pada logika politik (the logic of politics), yang pada gilirannya akan mendorong pada logika kekuasaan (the logic of power) yang cenderung hegemonik, kooptatif dan korup. Akibatnya, kekuatan mental dan logika (the power of logic) yang dimiliki para da’i seperti logika moralitas yang mengedepankan ketulusan pengabdian terhadap masyarakat basisnya akan menghilang, terkalahkan oleh logika kekuasaan tadi.[31]

Karena telah kalah, maka da’i itu bukan lagi orang yang merdeka. Ia telah disetir kekuatan yang ada di luar. Ketika belum masuk ke wilayah politik, seorang da’i adalah orang yang merdeka, namun ketika sudah bermain api dengan siasat dan strategi politik, ia akan berada pada batas yang menantang antara mempertahankan idealitas dan melepaskannya. Syukur, bila para da’i yang sekaligus politikus itu masih memegang teguh prinsip dan idealitasnya. Namun, jika tidak demikian, maka umat yang akan menjadi korbannya.

Umat Islam menjadi bulan-bulanan para pemimpinnya, termasuk para da’i sebagai orang yang memiliki pengaruh kuat di masyarakat. Bisa saja, karena propaganda yang dibuat para da’i yang sekaligus politikus itu, demi mewujudkan ambisi politik, stabilitas sosial umat terganggu, yang berakhir dengan konflik dan perpecahan.

Contoh yang paling kongkrit adalah tragedi bentrok massa antara pendukung PPP dan PKB Dongos, Kedung, Jepara pada medio 1997 yang memakan banyak korban. Peristiwa itu tak akan terjadi manakala para pemegang kendali, tak terkecuali da’i, berperan aktif sebagai pengontrol massa. Ironisnya, saat itu, para da’i yang seharusnya netral, malah bermain api didalamnya. Mereka berkampanye untuk masing-masing partai yang mereka dukung, mengerahkan massa hanya untuk unjuk kekuatan. Ketegangan pun terjadi. Akhirnya, da’i hanya milik partai, bukan milik umat bersama. Mereka telah menjual idealitas untuk hawa nafsu dan kepentingan golongan sesaat. Maka, benar apa yang dikatakan Prof. dr Hamka:

“Apabila sesuatu telah mulai tidak karuan, mulailah tumbuh yang buruk, akhirnya jadi yang jahat. Hawa nafsulah yang menang di tempat itu dan syahwatlah yang terkemuka. Dalam masyarakat yang demikian, mulailah kebenaran dikalahkan oleh kekuatan….waktu itu, mulailah perpecahan, memikirkan diri sendiri dan tidak memikirkan orang lain. Akhirnya, kekacauan yang timbul”[32]

Dari sini, kita bisa melihat adanya relasi pengaruh da’i dengan kondisi sosial umat. Jika da’i bisa berperan sebagai mediator bila ada dua pihak yang sedang bertikai. Alangkah indah kehidupan umat ini! Mereka akan saling memahami satu sama lain, sehingga terbangun solidaritas sosial yang tinggi sebagai peredam gejolak sosial. Kesadaran untuk berdisiplin nasional[33] pun menjadi warna tersendiri bagi kehidupan sosial umat. Pada gilirannya, akan terjalin kesatuan (wihdah), persaudaraan (ukhuwah), dan kekuatan (quwwah) umat Islam. Bisa dibayangkan, jika kondisi sudah demikian baik, alangkah mudahnya melawan serangan musuh. Sehingga, eksistensi jama’ah yang selama ini terbangun tetap eksis, tahan uji. Kondisi yang tergambar secara indah diatas adalah situasi yang pernah mewujud ketika Nabi Muhammad SAW. masih hidup.[34] Yakni masyarakat yang dibangun tanpa menggadaikan idealisme para pemimpinnya. Beliaulah pemimpin bagi para da’i yang tak menjual idealitasnya.

C. Catatan untuk Para Da’i

Imam Assyahid Hasan Al-Bana pernah berpesan kepada para “Tentara Allah” seperti berikut:

“Jangan ambisikan jabatan pemerintahan. Nilailah jabatan sebagai pintu rizki yang paling sempit. Tak usah menolaknya jika ada kesempatan. Tak usah menghindarinya kecuali bertentangan dengan tugas dakwah”[35]

Sungguh sebuah pesan yang bijak dan menggetarkan. Pesan diatas bisa digambarkan secara jelas melalui sosok Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah Nabi sekaligus Negarawan yang masih tetap idealis. Tak mudah terlena oleh rayuan yang datang dari saja, meski dari raja sekalipun.[36] Menggunakan Al qur’an sebagai jalan hidup dan ahlaqnya, sehingga Allah dalam Al-Qur’an mensifati akhlaq nabi dengan menggunakan kata Adhim yang berarti agung. (Wainnka la’ala khuluqin Adhim/ Dan sesungguhnya engkau berakhlaq agung). Padahal kata ini hanya digunakan bagi sesuatu yang tiada duanya.[37]

Oleh karenanya, beliau adalah panutan yang cocok dijadikan teladan oleh siapapun (Al-Ahzab: 21). Hanya dengan meneladani empat sifat beliau, yakni shidiq (jujur), amanah (terpercaya), tabligh (menyamaikan) dan fathonah (cerdas) cukuplah seorang da’i bisa disebut sebagai penerus dakwahnya, waratsatul anbiya’. Bila tidak, ia belum tergolong dalam kategori seorang da’i. Kalaupun dia sering berceramah di depan umum, cukup, penulis menyebutnya dengan muballigh, bukan da’i. Seorang Muballigh hanya menyampaikan, sedangkan da’i adalah orang yang menyampaikan pesan kepada umat sekaligus melakukan kontrol dan evaluasi atas pesan pesan-pesan yang pernah disampaikannya. Tujuannya, agar perbaikan secara secara vertikal maupun horisontal terjadi dalam dataran sosial umat..

Perbaikan secara vertikal adalah perbaikan akan penghayatan nilai-nilai ruhaniyyah-ilahiyyah, sehingga hubungan antara hamba dan rabbnya semakin dekat (baca: ibadah). Adapun perbaikan horisontal adalah perubahan yang berbasis sosial. Sehingga, hubungan antara satu dengan lainnya adalah hubungan yang terjalin atas dasar kekeluargaan-keislaman (baca: akhlaq).

Maka, hadirnya organisasi kemasyarakatan yang bersifat ke-islaman seperti Ikatan Dai Indonesia (IKADI) bagai angin segar yang diharapkan mampu mengoptimalkan potensi para da’i, sebagaimana tercermin dalam visinya. Selain itu, IKADI diharapkan menjadi alat kontrol bagi para da’i yang aktif dalam politik praktis, seperti halnya di PKS. Hal itu dilakukan agar jiwa-jiwa dakwah dan nuansa-nuansa dakwah tetap tertanam dimanapun. Tidak hanya di Masjid, Musholla, Majlis Ta’lim atau tempat-tempat lain yang biasa disinggahi para penceramah.

Dengan begitu, bukan tidak mungkin akan tercipta figur da’i yang berkarakter seperti Nabi Muhammad, yakni selain berdakwah, juga seorang negarawan dan politikus. Meski begitu, tetap menjaga idealitas dan komitmen, walau disaat badai menerjang. Menarik apa yang ditulis Norman Vincent Peale dalam bukunya Stay Alive All Your Life: “ketika Anda masuk dalam badai, gunakan filsafat panorama (melihat keagungan Tuhan), pandangan yang luas. Maka Anda akan mengetahui hal itu tidak akan berlangsung untuk selamanya. Dengan iman di dalam hati Anda, Anda akan tetap bertahan dalam badai itu”[38]

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian yang penulis paparkan dalam pembahasan di atas, ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik:

1. Dakwah Islam, dari zaman Nabi hingga sekarang, dalam perjalanannya selalu mengalami hambatan dan tantangan. Internal maupun eksternal. Namun, tinggal bagaimana kegiatan dakwah setiap zaman yang beda itu mampu mengatasinya. Inilah yang menyebabkan pasang-surutnya kualitas dakwah.

2. Keterlibatan para da’i dalam kegiatan politik praktis, meski membawa manfaat, namun karena lemahnya komitmen, kadangkala terjerumus dalam hawa nafsu, melayani kepentingan sementara golongan dengan menjual idealitasnya.

3. Kondisi seperti itulah yang menyebabkan kehidupan umat diwarnai dengan konflik dan permusuhan, sehingga solidaritas sosial, disiplin nasional hingga kontinuitas eksistensi jama’ah sulit diwujudkan.

B. Saran-saran

Gagasan, atau lebih tepatnya cita-cita penulis untuk Mencetak Da’i Berkarakter Nabi: Implikasinya Terhadap Solidaritas Sosial, Disiplin Nasional dan Ketahanan Eksistensi hanya tinggal gagasan bila tanpa kritisisme dari berbagai pihak untuk diwujudkan dalam langkah praktis. Maka beberapa hal dibawah ini mungkin bisa dilakukan, IKADI khususnya:

1. Optimalkan penggalian potensi para da’i, terutama dalam bidang kepemimpinan, bukan sekadar wawasan keagamaan. Tujuannya, agar tercipta para da’i yang benar-benar siap ketika dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah keummatan. Bukan hanya pintar berbicara, tapi juga pintar berstrategi.

2. Selain penggalian potensi, perlu juga dilakukan pendampingan dan kontrol bagi mereka yang aktif bergiat di politik praktis. Sehingga, idealismenya sebagai seorang da’i tetap terjaga. Akhirnya, ia tidak mudah terpengaruh.

3. Kondisi semacam itulah yang disebut penulis dengan istilah da’i berkarakter Nabi. Yaitu seorang da’i yang mampu melaksanakan tugas dakwah sekaligus negarawan muslim yang tangguh, tanpa menjual idealitasnya. Dengan begitu, ia bisa mengatur umat secara adil dan bijak. Hal itulah yang kemudian berimplikasi pada terciptanya solidaritas sosial, disiplin nasional dan keberlangsungan eksistensi jama’ah. Tercipta Ukhuwwah Islamiyyah fil Ubudiyah, fil insaniyyah, fil wathaniyyah wa al Nasab dan fiddin[39]. Dan Baldah Thoyyibah Warobbun Ghofur pun tak sulit dicapai.

C. Ikhtitam

Demikianlah deskripsi singkat “Mencetak Da’i Berkarakter Nabi: Implikasinya Terhadap Solidaritas Sosial, Disiplin Nasional dan Ketahanan Eksistensi” yang dapat kami sajikan dalam karya tulis ini. Harapan penulis, semoga sedikit sumbangsih wacana ini mampu menjadi penyemai inspirasi dan semangat dakwah dikalangan umat Islam. Khusus bagi IKADI, penulis berharap agar dapat memposisikan diri sebagai organisasi da’i yang mapan dan mandiri sebagaimana yang tertulis dalam sifat dan ciri khas keorganisasiannya. Sehingga, orientasi dakwah tetap berjalan lancar.

Kritik konstruktif dan masukan dari berbagai pihak sangat kami harapkan bagi penyempurnaan kajian ini. (30/05/07)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul Karim.

Abdullah, Muhammad, H., Al-Qira’ah Ashriyyah, cet. II, (Surabaya: Al-Maktabah Ashriyyah, Tt).

Al-Banna, Al-Imam Assayyid Hasan, Dakwah Kami Kemarin dan Hari ini, cet. II (Jakarta: C.V. Al-Firdaus, 1991).

Al-Buthy, Muhammad Sa’id Ramadhan, Dr., Kemunduran Islam, tanggung jawab siapa?, cet. I, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993).

Al-Kumayi, Sulaiman, 99 Q, Kecerdasan 99: Cara meraih Ketenangan Hidup Lewat Penerapan 99 Asma Allah, cet. I, (Bandung: Penerbit Hikmah, 2003).

Hamka, Prof. Dr., Prinsip dan Kebijaksanaan Da'wah Islam, cet. II, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1984).

Harjono, Anwar, Dr., Da’wah dan Masalah Sosial Kemasyarakatan, (Jakarta: Penerbit Media Da’wah, Tt).

Harian Republika, 30 Juli 2005.

Hawai, Sa'id, Tentara Allah, (Semarang: Thaha Putra, 1983), Ahmad Masruch Nasucha dan M. Ali Hasan Umar (Penerj.).

Masyhur, Syaikh Musthafa, Qadhaya Al-Asasiyyah dalam Da’wah, cet. I, (Jakarta: Al-Ishlahy Press, 1993), Abu Ridha (penerj.).

Moleong, Lexy J., Dr., MA, Metodologi Penelitian Kulitatif, cet. VI, (Bandung, Rosda Karya,1995).

Natsir, M., Fiqhud Da'wah; Jejak Risalah dan Dasar-dasar Da'wah, cet. IV, (Jakarta: Media Da'wah, 1983).

Partanto, Pius A dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994).

Quthub, Sayyid, Rambu-Rambu Jalan Bagi Orang Yang Beriman, (Semarang: C.V. Thoha Putra, 1982), Ahmad Masruh Nasucha dan M. Ali Chasan Umar (Penerj).

Shaleh, A. Rasyid, Drs., Mangement Da'wah Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977)

Syam, Nur, Drs., Metode Penelitian Dakwah Sketsa Pemikiran Pengembangan Ilmu Dakwah, cet. I, ( Jakarta: C.V Ramadani, 1991).

Syihab, M. Quraish, Dr., Membumikan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan Pustaka, 2006).

Internet: (www.nu.or.id, 1 Mei 2007), (www.islamlib.com, 29 Mei 2007) dan (www.amanah.or.id, 29 Mei 2007).



[1] Sayyid Quthub, Rambu-Rambu Jalan Bagi Orang Yang Beriman, (Semarang: C.V. Thoha Putra, 1982), Ahmad Masruh Nasucha dan M. Ali Chasan Umar (Penerj), hlm.64

[2] Ibid, hlm.204

[3] Yang paling banyak mendapat ujian dan cobaan, dari sekian profesi yang digeluti manusia adalah para rasul. Terutama Ulul Azmi, yaitu Nabi Nuh, Musa, Isa, Ibrahim dan Muhammad. Kepada Kelima nabi ini yang oleh Allah kita diperintah menganutnya, dalam kesabaran (Al-Ahqaf:45). Lihat M. Natsir, Fighud Da'wah; Jejak Risalah dan Dasar-dasar Da'wah, cet. IV, (Jakarta: Media Da'wah, 1983), hlm. 252

[4] Sebenarnya tujuan diutusnya Nabi Muhammad kepada bangsa arab, bukan kepada yang lainnya, adalah agar Peradaban bangsa Arab menjadi maju diantara bangsa-bangsa lainnya yang ketika itu sudah mapan, semisal Yunani, Mesir dan Cina. Inilah rahasia Allah memilih Nabi terakhir dari suku Arab, bukan dari Isra'il seperti nabi-nabi lainnya. Keterangan ini penulis dapat dari dosen penulis yang mengampu mata kuliah Sirah Nabawiyyah.

[5] Dr. Anwar Harjono, Da’wah dan Masalah Sosial Kemasyarakatan, (Jakarta: Penerbit Media Da’wah, Tt), hlm. 156

[6] Op.cit, hlm. 58

[7] Al-Anbiya':107, ayat ini menunjukkan bahwa Risalah Nabi tidak untuk bangsa arab saja, tapi seluruh manusia. Hanya ada satu macam manusia, dan kawasannya adalah bumi. Keterangan lebih lanjut Lihat: Sayyid Quthub, ibid, hlm. 67

[8] Sepeninggal Nabi, sebenarnya terjadi juga perpecahan akibat faktor politis, yaitu ketika memutuskan pengganti Nabi. Namun perpecahan itu tak membawa gejolak yang berarti, sehingga kegiatan dakwah tetap berjalan.

[9] Setelah rasul wafat, wilayah Islam di sisi barat meluas hingga ke negara Syam (siria), Mesir, Turki, Sudan dan Afrika Utara. Di sisi timur, Islam meluas hingga Irak, Afganistan, India, Fersi dan Cina. H. Muhammad Abdullah, Al-Qira’ah Ashriyyah, cet. II, (Surabaya: Al-Maktabah Ashriyyah, Tt), hlm. 29

[10] Al-Imam Assayyid Hasan Al-Banna, Dakwah Kami Kemarin dan Hari ini, cet. II (Jakarta: C.V. Al-Firdaus, 1991), hlm. 96

[11] Syaikh Musthafa Masyhur, Qadhaya Al-Asasiyyah dalam Da’wah, cet. I, (Jakarta: Al-Ishlahy Press, 1993), Abu Ridha (penerj.), hlm. 1-2

[12] Menurut Ramadkan Al-Buthy, satu diantara enam perkara yang menyebabkan kemunduran Islam adalah perpecahan dalam semua aspek kehidupan. Mulai dari lingkungan yang terkecil, seperti keluarga, hingga lingkungan besar, seperti negara. Penyebab perpecahan tersebut karena faktor internal dan eksternal, sebagaimana tersebut diatas. Keterangan lebih lengkap, baca: Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, Kemunduran Islam, tanggung jawab siapa?, cet. I, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), hlm. 73

[13] Dr. Lexy J. Moleong, MA, Metodologi Penelitian Kulitatif, cet. Vi, (Bandung, Rosda Karya,1995), hlm. 103

[14] Drs. Nur Syam, Metode Penelitian Dakwah Sketsa Pemikiran Pengembangan Ilmu Dakwah, cet. I, ( Jakarta: C.V Ramadani, 1991), hlm. 60

[15] Suatu sikap mau menerima dan menghayati ukuran moral dan keagamaan, sikap mau menyokong suatu rencana atau program yang belum ada sebelumnya. Lihat Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 237

[16] Prof. Dr. Hamka, Prinsip dan Kebijaksanaan Da'wah Islam, cet. II, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1984), hlm. 49

[17] Pluraritas manusia merupakan sunnatullah, baca: Al-Baqarah:214, Hud: 118, An-Nahl: 94 dan Al-Ma'idah:48.

[18] Drs. A. Rasyid Shaleh, Mangement Da'wah Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 22

[19] Baca: Surat Ali Imran: 104-105

[20] Dr.M. Quraish Syihab, Membumikan Al-Qur'an, cet-21, (Bandung: Mizan Pustaka, 2006), hlm. 397

[21] Usaha-usaha untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, dalam dakwah Islam, meliputi tiga hal, yaitu mengajak untuk iman kepada Allah, amar ma'ruf, nahi mungkar dan pembangunan. Op. cit, hlm. 22

[22] Menurut Penulis, jika dakwah dipahami sekadar sebagai kewajiban, penekanan arti artinya akan menyempit pada tataran normatif semata. Beda halnya jika dakwah diartikan sebagai kebutuhan. Disini, akan terjadi pertumbuhan sensitifitas personal ketika berhadapan dengan lingkungan sosialnya. Dengan begitu semangat juang dakwah akan tumbuh secara alami, tanpa tekanan. Kondisi semacam ini akan memperkuat ketahanan psikologinya ketika dihadapkan dengan banyak tantangan.

[23] Drs. A. Rasyid Shaleh, Ibid, hlm. 162

[24] Penguasaan teknis meliputi segala yang dibutuhkan dalam proses dakwah: pemahaman keagamaan yang meliputi akidah, syari'ah, serta akhlaq dan juga pemahaman global. Lihat lengkap Dr. Yusuf Qardlawy dalam bukunya

[25] Sesuai dengan janji Allah dalam Surat Asshaffat: 173, yang artinya: Dan sesungguhnya tentara kami itulah yang pasti menang. Keterangan lengkap telah di elaborasi Sa'id Hawai dalam karyanya: Tentara Allah, (Semarang: Thaha Putra, 1983), Ahmad Masruch Nasucha dan M. Ali Hasan Umar (Penerj.)

[26] Al-Imam Assayyid Hasan Al-Banna, ibid, hlm. 100

[27] Masdar F Mas'udi dalam "Dakwah dan Politik tak bisa disamakan", (www.nu.or.id, 1 Mei 2007)

[28] Saiful Main Sholihin, (www.Islamlib.com, 29 Mei 2007)

[29] Majalah Amanah, (Edisi No. 70 tahun XIX) amanah online, (www.amanah.or.id, 29 Mei 2007)

[30] Harian Republika, 30 Juli 2005

[31] Saiful Main Sholihin, ibid.

[32] Prof. Dr. Hamka, Prinsip…, ibid, hlm. 80

[33] Tidak dipungkiri lagi adanya hubungan timbal balik antara dakwah dan disiplin nasional, yaitu ketaatan semua pihak pada nilai yang sudah disepakati bersama, nilai-nilai Islam. Lihat Dr. Anwar Harjono, Dakwah dan masalah…,ibid, hlm. 1-2

[34] Karena keteladanan Nabi, antara sahabat Anshar dan Muhajirin bisa saling hidup bersama. Padahal, sebelum kedatangan nabi, peristiwa itu belum pernah terjadi. Prestasi dakwah yang perlu dicatat sejarah.

[35] Al-Imam Assyahid Hasan Al-Bana, Dakwah kami…, ibid, hlm. 104

[36] Rasulullah berkali-kali mengirimkan surat kepada para kepala negara asing agar tunduk dibawah agama Allah. Raja-raja yang pernah dikirimi surat antara lain: Hiraclius (Rum), Abru Waiz ibn Hurmuzan Ibn Anu Syirwan (Parsi), Najasyi (Habasyah), Muqauqis (Mesir dan Iskandariyyah), dua Raja Umman dan Al-Mundzir Ibn Sawi. Lihat salinan suratnya secara lengkap di: M. Natsir, Fiqhudda’wah, cet. IV, (Jakarta: Media Da’wah, 1983), hlm. 277-286

[37] Sulaiman Al-Kumayi, 99 Q, Kecerdasan 99: Cara meraih Ketenangan Hidup Lewat Penerapan 99 Asma Allah, cet. I, (Bandung: Penerbit Hikmah, 2003), hlm. 276

[38] Pernyataan Peale ini diambil dari kutipan Sulaiman Al-Kumayi, 99 Q, ibid, hlm. 279

[39] Lihat secara lengkap tentang pengertian konsep-konsep ini dalam M. Quraish Shihab, Membumikan, ibid, hlm. 358-359.